Apa Itu Pilot Kamikaze

Apa Itu Pilot Kamikaze

Pilot Darat ColdDripcoffee

Copyright @ 2024 Link UMKM, All right reserved | Page rendered in 0.2064 seconds

Menjadi pilot Kamikaze adalah sukarela, tapi tidak selalu

Meskipun Jepang sangat membutuhkan banyak prajurit, tetapi mereka tidak memaksa semua orang untuk menjadi pilot Kamikaze. Sebenarnya ada kuesioner tentang perekrutan sebagai pilot Kamikaze. Formulir itu bertuliskan tiga pertanyaan — "Saya sangat ingin bergabung," "Saya ingin bergabung," dan "Saya tidak ingin bergabung."

Mereka dibawa ke sebuah ruangan dan diberi waktu lima menit untuk memutuskan apakah mereka akan menjadi sukarelawan, menolak, atau membiarkan komandan mereka yang memutuskan.

Pilot kadang-kadang ditempatkan dalam kelompok besar dan diminta untuk menjadi sukarelawan. Tetapi, terkadang ketiga pilihan itu hanyalah formalitas, karena kebanyakan dari mereka akan dipilih menjadi pilot.

Nasionalisme dan kepahlawanan pilot Kamikaze

Selama perang, Jepang memastikan bahwa pilot Kamikaze dipandang secara luas sebagai pahlawan. Awalnya, angkatan udara pernah mendapat penolakan dari Akademi Angkatan Laut Kekaisaran, tetapi akhirnya menjadi karier yang layak dan dihormati. Propaganda ini juga menembus iklan, dengan poster bertuliskan "Move Forward, One Hundred Million! You Are Fireballs." Itu semua adalah taktik ideologis untuk mengharumkan pilot Kamikaze.

Setelah perang, sentimen itu benar-benar runtuh. Itu sebabnya pada tahun 1952, kaum nasionalis ingin menulis ulang tentang stigma buruk pilot Kamikaze yang ditinggalkan Sekutu.

Mereka meyakinkan bahwa aksi pilot tidak memalukan dan bukan kejahatan. Pandangan ini diserukan pada tahun 1970-an, 80-an, dan 90-an. Pandangan positif ini diingat Jepang hingga hari ini. Faktanya, orang Jepang mengingat pilot Kamikaze dengan berlinangan air mata.

Kisah pilot Kamikaze adalah sesuatu yang tragis. Dokumen dan gambar telah dikumpulkan pada tahun-tahun sejak perang untuk mengenang para pilot. Ada foto yang menunjukkan sekelompok pilot muda berdiri bersama dan tersenyum, pilot saat memeluk anak anjing. Bahkan dengan kematian di depan mata, mereka berhasil terlihat ceria.

Ada pula beberapa surat yang ditujukan kepada orang-orang terkasih. Seorang pilot menulis tentang turunnya hujan yang telah menunda misinya. Pilot lain menulis surat untuk orangtuanya, meminta maaf karena belum bisa menjadi anak yang terbaik. Ada juga yang menulis kepada tunangannya, berharap agar bisa menikah dengannya di kehidupan berikutnya.

Itulah deretan kisah tentang pilot Kamikaze yang bisa dibilang sangat menyayat hati. Tak disangka, sejarah berhasil merekam perjuangan pilot Kamikaze dari berbagai sudut pandang.

Baca Juga: Kisah Ajeng Tresna, Pilot Pesawat Tempur Perempuan Pertama Indonesia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

'Saya tidak ingin mati'

Lepas dari pandangan kaum muda terhadap pilot kamikaze, benarkah para penerbang itu siap mati untuk negaranya ketika mengudara pada usia 17 hingga 24 tahun?

Ketika saya berbincang dengan dua mantan pilot kamikaze, yang kini berusia 90-an tahun, jawabannya tidak.

"Menurut saya, 60% hingga 70% dari kami betul-betul ingin mengorbankan diri untuk kaisar, tapi sisanya mungkin mempertanyakan mengapa kita harus bunuh diri," kata Osamu Yamada, mantan pilot kamikaze yang berusia 94 tahun.

Ditemui di kediamannya di Nagoya, Yamada mengaku tidak sempat menjalankan misi bunuh diri karena perang keburu usai.

"Saya lajang saat itu dan tidak ada yang mengekang, sehingga saya asli berpikir untuk mengorbankan diri demi membela Jepang. Namun, bagi mereka yang sudah berkeluarga, mereka pasti punya pikiran lain," kata Yamada.

Keiichi Kuwahara, 91, merupakan salah satu penerbang yang tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya. Dia mengisahkan momen ketika dia diperintahkan menjadi pilot kamikaze.

"Saya bisa merasakan diri saya menjadi pucat. Saya takut. Saya tidak ingin mati," papar Kuwahara yang saat itu berusia 17 tahun.

"Saya kehilangan ayah setahun sebelumnya, sehingga hanya ada ibu dan kakak perempuan untuk bekerja menopang keluarga. Saya mengirim uang gaji ke mereka. Saya pikir, apa yang terjadi jika saya mati? Bagaimana keluarga saya bisa makan?"

Sumber gambar, Keiichi Kuwahara

Keraguan Kuwahara terjawab. Ketika mesin pesawatnya rusak dan dia terpaksa kembali, dia merasa lega.

Meski demikian, di atas kertas, Kuwahara dianggap telah menjadi sukarelawan kamikaze.

"Apakah saya terpaksa atau saya sukarela? Itu pertanyaan yang sulit dijawab jika Anda tidak memahami esensi militer," ujarnya.

Profesor Sheftall mengungkap bahwa pada masa itu pilot yang tidak ingin sukarela menjadi kamikaze harus mengangkat tangan di tengah barisan. Akibat kondisi itu, jarang ada pilot yang menolak.

Pada masa kini, pilot kamikaze kerap disandingkan dengan teroris yang menjalankan misi bunuh diri. Namun, Kuwahara berkeras keduanya tidak bisa disamakan.

"Saya pikir keduanya amat berbeda. Aksi kamikaze ditempuh pada masa perang, sedangkan serangan kelompok ISIS tidak bisa ditebak," jelasnya.

Anggapan bahwa aksi kamikaze adalah terorisme, menurut Yamada, adalah contoh bahwa kamikaze kerap dimaknai dengan salah. Menurutnya, kata kamikaze yang secara harfiah berarti "angin ilahi", sering kali dipakai dalam bahasa Inggris tanpa memahami konteks sejarah Jepang.

"Saya sakit hati karena kamikaze adalah masa muda saya. Kamikaze tidak bersalah, itu adalah sesuatu yang benar-benar murni, maknanya lebih dalam. Tapi kini kamikaze diperbincangkan seolah-olah kami telah dicuci otak," paparnya.

Sumber gambar, Getty Images

Setelah Perang, Kuwahara merasa dibebaskan dan berpikir bagaimana cara membangun Jepang.

Namun, Yamada perlu waktu untuk menyesuaikan diri.

"Saya merasa disorientasi, tidak berdaya, kehilangan keakuan, seolah-olah sukma saya meninggalkan raga," kenangnya.

"Sebagai pilot kamikaze, kami siap mati. Jadi ketika saya mendengar kami telah dikalahkan, saya merasa kehilangan tempat berpijak."

Lantaran merasa perlu mendapat kerja, makan, dan bertahan hidup, dia bisa menjaga kawarasan seusai perang.

Bagaimanapun, alasan utama mengapa dia bisa tetap punya keinginan untuk hidup adalah Kaisar Hirohito. Pria yang dibela mati-matian oleh rakyat Jepang itu memberi contoh berdamai dengan menjabat tangan para jenderal Amerika.

"Kaisar, Yang Mulia, adalah jantungnya Jepang. Saya pikir kehadiran Kaisar Hirohito membantu Jepang pulih dari perang," ujarnya.

Bagi generasi Jepang pascaperang, pengalaman mantan pilot kamikaze tidak terbayangkan, bahkan oleh keluarga para pilot.

"Tatkala saya merenungkan hidupnya, saya tersadar bahwa hidup saya bukan untuk diri saya sendiri. Saya berkewajiban untuk hidup bagi mereka yang terlahir sebagai anak dan cucu para serdadu yang tewas saat perang," kata cucu Yamada, Yoshiko Hasegawa.

Sementara itu, cucu Kuwahara, tidak mengetahui secara pasti apa yang kakeknya lalui sebagai pilot kamikaze.

"Justru Jepang yang damai itulah yang saya ingin ciptakan," kata Kuwahara seraya tersenyum.

Baginya, ketidaktahuan cucunya adalah bukti bahwa Jepang telah melewati masa lalunya yang kelam dan menyakitkan.

Pilot Kamikaze disamakan dengan serangan teroris

Pada periode pasca-perang di Jepang, pilot Kamikaze menerima perlakuan dan stigma buruk dari masyarakat. Tetapi dalam waktu tertentu, ada pandangan yang lebih buruk tentang mereka yakni serangan teroris, terutama pascaserangan 11 September di World Trade Center. Sebuah berita yang dirilis dari Stanford menggambarkan serangan itu sebagai "pesawat kamikaze di satu sisi dan pesawat yang dibajak di sisi lain."

Atshushi Takatsuka bersikeras bahwa itu bukanlah hal yang sama. Teroris cenderung menargetkan warga sipil. Sementara Pilot Kamikaze (dan semua pasukan Serangan Khusus) hanya dikirim setelah target militer. Pilot hanya melakukan apa yang ditugaskan dalam perang, dan mereka sendiri pun tidak punya banyak pilihan.

Dua sisi sikap Jepang saat perang

Sudah lumrah ketika berbicara pengorbanan, selalu disertai nilai kehormatan yang berujung pada sikap patriotisme-nasionalisme kala negara tersebut dilanda perang. Jepang menaruh rasa hormat sebagai mereka yang telah berkorban lewat Kamikaze. Kehormatan adalah sakral bagi tradisi mereka. Mulai dari pesawat bom bunuh diri ala Kamikaze hingga tank bom bunuh diri bagi kalangan infanteri di darat, adalah hal yang bisa dibenarkan kapanpun oleh pihak Jepang saat peperangan.

Jepang akan melakukan hal apapun demi memenangkan peperangan lewat cara apapun. Hal ini tergambar lewat aksi unit 731 dan kekejaman yang dilakukan di daratan Cina demi upaya memenangkan para populasi pemberontak. Jepang memiliki kisah uniknya sendiri bila berbicara dunia peperangan, dimana rasa nasionalisme dan kehormatan mereka menjadi hal terpenting dengan rela mengisolasi diri mereka dari pengaruh invasi negara-negara luar. Terutama berbicara kultur dan budaya Jepang itu sendiri.

The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)

Apa itu Kamikaze? Hal ini menjadi sorotan sehubungan dengan serangan drone 'Kamikaze' Rusia ke Ibu Kota Ukraina di Kiev. Kamikaze adalah istilah dari bahasa Jepang yang tak jarang digunakan dalam aksi penyerangan.

Lantas apa yang dimaksud dengan istilah Kamikaze itu? Untuk mengetahui lebih lanjut, simak informasinya berikut ini.

Kamikaze adalah istilah dari bahasa Jepang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti dikutip dari situs resmi Kemdikbud, secara harfiah istilah kamikaze artinya angin yang datang mendadak yang menyelamatkan bangsa Jepang dalam suatu peperangan antara Jepang dan Tiongkok pada abad ke-18. Istilah kamikaze juga diartikan sebagai pasukan udara Jepang yang dalam Perang Dunia II bersedia mati dengan dengan cara menabrakkan pesawat terbang yang mereka tumpangi pada sasaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam catatan sejarah, seperti dilansir situs History, istilah kamikaze digunakan pada 5 Januari 1945 kepada pilot Jepang yang menerima perintah pertama untuk menjadi kamikaze. Istilah kamikaze berarti "angin ilahi" dalam bahasa Jepang. Serangan bunuh diri dari kamikaze diartikan sebagai keputusasaan Jepang pada akhir Perang Dunia II. Dalam peristiwa itu, sebagian besar pilot Jepang tewas. Di Okinawa, mereka menenggelamkan 30 kapal dan menewaskan hampir 5.000 orang Amerika.

Berdasarkan penjelasan di atas tentang apa itu kamikaze, dapat dipahami bahwa arti kamikaze adalah suatu aksi bunuh diri yang dilakukan oleh prajurit militer Jepang ke daerah musuh untuk menjaga kehormatan pasukannya. Pengertian kamikaze ini seperti dilansir situs Today Nippon.

Jepang berada di titik terendah dalam pertempuran

Pada beberapa tahun terakhir Perang Dunia II, segalanya tidak berjalan sesuai keinginan Jepang. CMH Online mengatakan bahwa Jepang kalah dalam segi militer dibandingkan dengan pasukan Sekutu. Angkatan udara mereka tidak seperti dulu lagi, dan mereka kehilangan banyak pilot andal selama perang. Belum lagi, pilot Amerika mendapatkan pelatihan dan pendanaan terbaik, serta pesawat yang digunakan oleh pasukan Sekutu sangat kuat. Menurut sebuah wawancara dengan mantan pilot Kamikaze Atsushi Takatsuka, militer Jepang mengalami banyak kekalahan dalam pertempuran.

Para pemimpin militer mulai meningkatkan perekrutan mereka, terutama merekrut para mahasiswa, tetapi hal itu tidak cukup. Diskusi dimulai sekitar musim gugur tahun 1943 tentang taktik baru, tetapi ketika Jepang tidak dapat menghentikan pawai pasukan Sekutu melintasi Pasifik pada tahun 1944, mereka pun mencari siasat lain.

Mereka memasukkan unit Tokkotai 'serangan khusus'. Unit ini ditugaskan untuk melakukan misi bunuh diri, yang mencerminkan betapa putus asanya Jepang. Militer Jepang berusaha mengatasi hambatan mereka dengan segala cara, mendarat di satu pertahanan terakhir untuk melawan Sekutu yang akan mereka gunakan hingga tahap terakhir perang.

Rasa hormat dan rasa malu

Dilansir dari History of Yesterday Bagi para pilot Kamikaze yang terpaksa pulang ke kampung halaman mereka di Jepang, terbagi menjadi dua kategori: mereka yang gagal akibat kesalahan teknis-mekanis pada proses penyerangan, dan yang kedua adalah mereka yang dihinggapi rasa takut berlebih dengan memutuskan tak menjalankan Kamikaze.

Hukuman terhadap mereka yang gagal ber-Kamikaze akibat faktor psikologis, atau sama sekali tak dapat membuktikan adanya kegagalan teknis-mekanis saat itu tak langsung dieksekusi dan menerima sanksi hukuman fisik atau mental dari petinggi militer Jepang. Namun hukuman ini tak terlalu berat karena para pilot tersebut masih harus menjalani misi yang sama di hari esok nanti berikutnya.

Eksekusi terberat disertai pandangan sebagai seorang pengecut akan terjadi apabila pada saat ke-9 kalinya misi Kamikaze gagal dan sang pilot kembali pulang dalam keadaan bernyawa.

Salah satu cara untuk mengatasi faktor mental yang berakibat gagalnya para pilot Kamikaze menyelesaikan tugas mereka adalah dengan memberi ‘cairan keberanian’ yang diracik khusus oleh para petinggi militer Jepang yang dibantu ahli kimia. Cara itu menjadi cara terakhir diluar cara normal pada umumnya seperti menyertakan para pilot Kamikaze untuk dipaksa terbang bersama dalam kesatuan skuadron, yang dimana adalah teman-teman yang saling mengenal.

Ada satu kutipan yang menjadi acuan para pilot Kamikaze yang dilansir dari Kamikaze pilot manual:

Ketika kamu membuang pemikiran tentang hidup dan mati, maka kamu akan mengabaikan sepenuhnya kehidupan duniawi. Sehingga akan memungkinkan kamu untuk mempusatkan perhatian dengan tekad tak tergoyahkan untuk membasmi musuh, sementara itu hal tersebut akan memperkuat keunggulanmu dalam keterampilan terbang.

Beberapa pilot Kamikaze sangat bersemangat dengan tugas mereka

Osamu Yamada mengatakan kepada BBC, ketika ada panggilan untuk pilot Kamikaze, dia bergabung dengan sukarela. Ideologi para pilot Kamikaze adalah cinta tanah air dan bersedia mati untuk membelanya.

The Guardian berbicara dengan Hisao Horiyama, yang memiliki ideologi sama. Kaisar Hirohito secara pribadi mengunjungi unitnya. Sejak saat itu, Horiyama merasa tidak punya pilihan selain mengorbankan diri dan untuk membuktikan dirinya kepada ayahnya.

Sebagian besar pilot Kamikaze masih muda, usianya 17 atau 18 tahun. Menjadi sukarelawan untuk menjadi pilot Kamikaze tidak hanya memberi mereka penghargaan anumerta tetapi juga membuat mereka merasa diakui.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Baca Juga: Kisah Perempuan Tangguh dalam Melawan Stigma Masyarakat, Ada Pilot!

Pilot Kamikaze pasca-perang

Periode pasca-perang tidak berjalan baik untuk pilot. Sekutu menduduki Jepang selama tujuh tahun setelah berakhirnya perang, dan mereka berniat merusak reputasi pilot Kamikaze dengan mengatakan bahwa mereka bukanlah pahlawan tetapi fanatik gila yang sangat sembrono. Dilansir laman Kamikaze Images, publik pun tidak lagi mempedulikan mereka dan bahkan menghina mereka.

Akibatnya, mereka kesulitan mencari pekerjaan atau bahkan melamar ke sekolah. Sebuah stigma muncul tentang mereka, yaitu "Sindrom Serangan Khusus", atau terobsesi untuk meninggal dengan terhormat.

Sayangnya, asumsi itu belum benar-benar hilang. Beberapa generasi muda di Jepang, yang tumbuh dengan konstitusi pasifis–menilai mereka sebagai orang bodoh. Bahkan, kata kamikaze dijadikan slang untuk 'sembrono dan gila'.